Saat ini di media sosial ini sedang ramai diberitakan seorang guru
SMP di Kabupaten Bantaeng yang ditahan atas tuduhan melakukan kekerasan
fisik terhadap muridnya. Sebelum berita tersebut ramai di media, muncul
juga berita seorang guru di Sulawesi diadukan melakukan kekerasan psikis
ke polisi gara-gara mengingatkan siswanya yang membuang sampah
sembarangan. Dan beberapa tahun yang lalu, di Majalengka, seorang guru
dianiaya oleh orang tua siswa dan mendekam di penjara gara-gara mencukur
rambut siswa yang gondrong.
Para guru tersebut biasanya
diadukan ke aparat kepolisian melanggar Undang-undang Perlindungan Anak
(UUPA). UUPA seolah telah menjadi “jebakan batman,” menyandera, dan alat
untuk melakukan kriminalisasi bagi guru. Hal ini pun tidak lepas dari
pemaknaan HAM yang kebablasan pasca bergulirnya arus reformasi.
Pasal
yang biasanya dijadikan rujukan dalam laporan pengaduan kekerasan
terhadap anak oleh guru adalah Pasal 54 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Anak di dalam dan
di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam
sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” Adapun
jenis-jenis kekerasan tercantum pada pasal 69, yaitu kekerasan fisik,
psikis, dan seksual. Sedangkan pada situs Wikipedia disebutkan ada empat
kategori utama tindak kekerasan terhadap anak, yaitu : (1) pengabaian,
(2) kekerasan fisik, (3) pelecehan emosional/ psikologis, dan (4)
pelecehan seksual anak.
Tindakan hukuman disiplin yang dilakukan
oleh guru, yang pada waktu dulu dianggap biasa-biasa saja, kini dinilai
melanggar HAM. Akibatnya, guru seperti menghadapi dilema, di satu sisi
dia harus menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah, sementara disisi
lain, khawatir dikriminalisasi oleh orang tua atau LSM pembela anak atas
tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak.
Dampak dari dilema
tersebut, akhirnya guru menjadi kurang tegas terhadap siswa yang nakal
atau melanggar tata tertib sekolah. Para siswa siswa nakal tersebut
dibiarkan saja, dari pada nantinya guru terkena masalah hukum.
Ketidaktegasan guru berdampak terhadap semakin rendahnya wibawa guru di
hadapan siswa, khususnya di kalangan siswa-siswa yang nakal. Mereka
semakin seenaknya melanggar tata tertib sekolah, karena toh tidak akan dihukum.
Guru
akhirnya cari aman, tidak mau pusing dengan urusan sikap, perilaku,
etika, dan sopan santun siswa (walau hatinya mungkin memberontak).
Datang ke sekolah hanya mengajar, sampaikan materi sampai habis jam
pelajaran, dan pulang. Intinya, asal gugur kewajiban.
Proses
pendidikan yang seharusnya meliputi tiga ranah, yaitu sikap,
pengetahuan, dan keterampilan, lebih dominan pada ranah pengetahuan.
Akibatnya, banyak anak pintar tapi sikap dan perilakunya kurang baik,
jumlah kenakalan remaja semakin meningkat dan semakin mengkhawatirkan,
bahkan sudah masuk ke kategori tindakan kriminalitas, seperti mencuri,
merampok, menganiaya, memerkosa, bahkan sampai membunuh.
Hal
tersebut tentunya tidak dapat dibiarkan. Ini adalah pekerjaan besar yang
harus dipikirkan dan dicari solusinya antara orang tua, sekolah,
pemerintah, dan masyarakat.
Jadi Orang Tua Jangan Lebay
Setiap
orang tua yang menitipkan anaknya ke sekolah tentunya berharap anaknya
diperlukan baik oleh seluruh warga sekolah khususnya guru. Dengan kata
lain, orang tua berharap anaknya merasa nyaman di sekolah. Sekolah dapat
menjadi rumah keduanya, dan guru diharapkan berperan sebagai orang tua
siswa di sekolah.
Ketika ada masalah yang menimpa anaknya, maka orang tua jangan lebay
atau terlalu reaktif dan emosional. Jangan hanya mendengar penjelasan
sepihak dari anaknya, karena secara naluriah, yang namanya anak, ketika
dia melakukan kesalahan pun ingin agar dia dibela oleh orang tuanya, dan
secara naluriah orang tua pasti sayang sama anaknya, dan ingin membela
anaknya.
Selain mendengarkan penjelasan anak, orang tua harus
datang sendiri ke sekolah, untuk meminta klarifikasi atau penjelasan
dari pihak sekolah berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh anaknya,
jangan mewakilkan kepada pembantu atau anggota keluarga yang lain,
karena mungkin saja informasi yang didapatkan juga tidak utuh.
Zaman
dulu, ketika ada anak lapor kepada orang tuanya karena dihukum oleh
guru, orang tua justru malah menambah hukumannya karena orang tua yakin
guru tidak semata-mata memberikan hukuman kepada anaknya, kalau anaknya
tidak berbuat kesalahan. Dengan kata lain, orang tua benar-benar percaya
kepada guru.
Bahkan pada saat mendaftarkan anaknya, orang tua
memberikan kebebasan kepada guru untuk melakukan apa saja kepada
anaknya, yang penting anaknya dididik, bisa baca, tulis, dan berhitung.
Zaman sekarang, ketika ada kasus kecil saja, ada oknum orang tua lebay yang langsung lapor polisi sambil bawa pengacara mengadukan kekerasan yang dilakukan guru terhadap anaknya.
Oknum
orang tua tipe ini biasanya berasal dari kalangan (merasa)
berpendidikan (tapi kurang paham tugasnya sebagai orang tua), pejabat,
birokrat, aparat, atau merasa memiliki beking yang dapat membantunya.
Akibatnya, guru harus bolak-balik ke kantor polisi karena diinterogasi,
dan tugasnya mengajar pun terbengkalai.
Jika memang terjadi
kekerasan (utamanya kekerasan ringan) terhadap anaknya, maka jangan
buru-buru lapor polisi atau lapor LSM, apalagi wartawan, karena bisa
panjang urusannya, dan justru akan membuat kegaduhan, bahkan menjadi
polemik. Lebih baik mencari solusi secara damai dan kekeluargaan, atau
istilahnya win-win solution.
Saya yakin tidak ada guru
yang ingin menganiaya muridnya, walau demikian, guru juga manusia, yang
mungkin berbisa berbuat khilaf. Orang tua dan guru saling introspeksi
saja, saling memaafkan, dan mengambil hikmah dari peristiwa tersebut.
Intinya, ada komunikasi yang baik antara guru dan orang tua siswa.
Penguatan Kompetensi Kepribadian Guru
Guru
adalah ujung tombak pembelajaran. Guru adalah sosok yang paling banyak
berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswa. Oleh karena itu, pihak
tertuduh pertama ketika ada kasus yang menimpa siswa adalah guru. Saya
yakin pada dasarnya setiap guru ingin agar anak didiknya menguasai ilmu
yang disampaikannya, terampil, dan berbudi pekerti luhur. Tiap guru
memiliki gaya, cara, dan karakter masing-masing dalam menyampaikan
materi pelajaran.
Dulu ketika Saya duduk di bangku sekolah di
kenal istilah “guru killer”. Predikat seperti itu biasanya diberikan
guru yang galak atau pelit nilai. Guru killer menjadi horor bagi siswa.
Para siswa takut kalau kebetulan ada jam pelajaran sang guru killer.
Walau
pun predikat tersebut kurang baik, tapi Saya yakin pada dasarnya hati
sang “guru killer” baik, ingin anak-anak didiknya disiplin, mengikuti
pelajaran dengan baik, dan berprestasi, hanya cara mengeskpresikannya
terkesan arogan.
Seiring dengan perkembangan zaman, predikat
“guru killer” sudah kurang relevan. Yang diperlukan saat ini adalah guru
yang humanis, demokratis, tapi tegas dan berwibawa. Caranya adalah
dengan memperkuat kompetensi kepribadian. Kompetensi ini merupakan salah
satu kompetensi yang perlu dimiliki oleh guru selain kompetensi
pedagogik, profesional, dan sosial.
Kompetensi kepribadian erat
kaitannya dengan sikap, ucapan, dan perbuatan guru ketika mengajar. Hal
ini juga berkaitan dengan kematangan emosional guru. Pada pasal 3 ayat
(5) Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru disebutkan
bahwa indikator dari kompetensi kepribadian seorang guru antara lain
: (a) beriman dan bertakwa, (b) berakhlak mulia, (c) arif dan
bijaksana, (d) demokratis, (e) mantap, (f) berwibawa, (g) stabil, (h)
dewasa, (i) jujur, (j) sportif, (k) menajdi teladan bagi peserta didik
dan masyarakat, (l) secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan
(m) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Selanjutnya, pada lampiran Permendikbud Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan Kualifikasi Guru diuraikan Kompetensi
Inti Guru dari aspek kompetensi kepribadian guru antara lain: (1)
bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan
nasional Indonesia, (2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur,
berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (3)
menampilkan diri sebagai sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa,
arif, dan berwibawa, (4) menunjukkan atos kerja yang tinggi , rasa
bangga, dan rasa percaya diri, dan (5) Menjunjung tinggi kode etik
profesi guru.
Sebagai tenaga profesional, guru harus
mengetahui, memahami, menghayati, dan mengamalkan kompetensi kepribadian
tersebut. Dalam konteks tindakan kekerasan kepada siswa, penguasaan
kompetensi kepribadian menjadi benteng bagi guru untuk terhindar dari
tindakan kekerasan terhadap siswa.
Dalam membina siswa, guru
harus tegas, berani, berwibawa, dan penyayang. Guru disamping sebagai
seorang pengajar dan pendidik, juga harus berperan sebagai orang tua
sekaligus teman bagi murid-muridnya. Guru tidak boleh jaim,
walau tetap harus menjaga wibawanya. Guru pun harus memiliki hubungan
yang dekat dengan siswanya dalam konteks sebagai guru dan murid.
Menurut
Saya, tindakan kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa siswa lebih
banyak disebabkan oleh kurang matangnya kompetensi kepribadian guru.
Adalah benar guru juga adalah manusia biasa, yang sewaktu-waktu bisa
marah atau emosi, tapi disitulah perlunya pengendalian diri. Konsekuensi
sebagai seorang guru, dia harus memiliki kesabaran ekstra dalam
mendidik anak didiknya.
Regulasi Perlindungan Guru
Pasal
39 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa
“Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/
atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam
melaksanakan tugas. Selanjutnya pada pasal (2) disebutkan bahwa
“perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan
hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja. Selain itu, juga diperlukan perlindungan terhadap hak
kekayaan intelektual guru mengingat banyak guru yang menulis karya
ilmiah dan membuat karya inovatif seperti buku pelajaran, buku
referensi, alat peraga atau media pembelajaran, software,aplikasi, dan sebagainya.
Berkaitan
dengan hal tersebut di atas, pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud
harus segera merealisasikan perlindungan guru, agar dalam melaksanakan
tugas, guru merasa aman, nyaman, dan tenteram, serta tidak mudah
dikriminalisasi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya kasus
kriminalisasi terhadap guru membuat guru menjadi was-was ketika akan
memberikan sanksi pelanggaran disiplin kepada siswa karena khawatir
melanggar undang-undang perlindungan anak. Akibatnya guru menjadi masa
bodoh ketika melihat ada siswa yang melanggar disiplin.
Jika
hal ini terus dibiarkan, maka akan menghambat pencapaian tujuan
pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bukan Hanya Memperhatikan Hak, tapi Juga Kewajiban Anak (Siswa)
Undang-undang
perlindungan anak bukan hanya mengatur tentang hak-hak anak, tetapi
juga kewajibannya. Pasal 19 UU perlindungan anak menyebutkan bahwa
Setiap anak berkewajiban untuk : (a) menghormati orang tua, wali, dan
guru; (b) mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, (c)
mencintai tanah air, bangsa, dan negara, (d) menunaikan ibadah sesuai
dengan ajaran agamanya; dan (e) melaksanakan etika dan akhlak yang
mulia.
Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, maka para orang
tua dan anak-anak (siswa) pun perlu diberikan pemahaman tentang hak dan
kewajibannya. Jangan hanya menuntut hak-haknya saja, sementara
kewajibannya kurang diperhatikan sehingga menimbulkan ketidakseimbangan.
Hukuman
disiplin yang diberikan guru kepada siswa biasanya dilakukan ketika
siswa tidak melaksanakan kewajibannya, atau tidak menghormati guru.
Ibaratnya, tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Ini yang harus
dipahami oleh orang tua siswa dan siswanya itu sendiri.
Oleh
karena itu, setiap orang tua harus mengingatkan kepada anaknya agar taat
dan hormat kepada guru, serta disiplin karena guru pun tidak mungkin ujug-ujug memberikan sanksi kalau tanpa alasan yang kuat.
Pesan Buat Aparat Kepolisian
Ketika
ada laporan dari warga masyarakat, tugas polisi adalah menerima dan
menindaklanjutinya. Dalam konteks laporan pengaduan kekerasan yang
dilakukan oleh guru terhadap siswa, maka pihak kepolisian sebaiknya
tidak langsung mendorong penyelesaian kasus pada ranah hukum, tetapi
diselesaikan secara damai atau kekeluargaan.
Polisi menjadi
mediator antara pihak pelapor dan terlapor, mencari jalan keluar yang
paling baik yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Selain itu
Penyelesaian secara hukum, akan menguras waktu, biaya, dan tenaga yang
tidak sedikit, serta memberikan tekanan psikologis yang luar biasa
utamanya terhadap pihak guru selaku terlapor. Penyelesaian secara hukum
akan lebih efektif bagi oknum guru yang terlibat kasus pencabulan atau
tindakan kriminal untuk menimbulkan efek jera.
Penutup
Undang-undang
Perlindungan Anak (UUPA) pada dasarnya bertujuan baik, yaitu untuk
melindungi anak dari tindak kekekerasan dan kesewenang-wenangan. Walau
demikian, UUPA jangan sampai menyandera guru dalam mendidik anak
didiknya. Berikanlah kembali otonomi mendidik kepada guru. Saya yakin
bahwa setiap guru memiliki harapan agar setiap anak didiknya menjadi
anak yang cerdas, terampil, dan memiliki budi pekerti luhur.
Perlu
adanya komunikasi yang baik antara orang tua siswa dengan pihak
sekolah. Sosisalisasikan tata tertib sekolah, jika ada masalah yang
menimpa anak didik di sekolah, kedepankan penyelesaian secara damai atau
kekeluargaan, dan sebisa mungkin hindari penyelesaian secara hukum.
Selain
itu, perlu adanya sosialisasi dan kesepahaman bersama antara orang tua,
guru, dan siswanya itu sendiri terhadap peran, hak dan kewajiban
masing-masing pihak berdasarkan UUPA. Wallaahu a’lam.
Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.
sumber : kompasiana
Silahkan saling berbagi info ini melalui :
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan jejak anda dengan mengisi kolom komentar dibawah ini :